Minggu, 20 September 2009

NIKAH SIRRI AWAL DERITA

Terutama bagi orang tua, resepsi pernikahan anak
adalah suatu kebanggaan. Saat resepsi itulah segenap kasih-
sayang orang tua tertumpahkan. Iringan rombongan calon
pengantin pria adalah pemandangan yang membuat iri
penonton. Pernikahan ini di sebagian masyarakat tidak boleh
dilakukan sebelum kedua belah pihak merampungkan
studynya.
Sama halnya dengan orang tuaku yang mewanti-wanti
tidak membolehkan aku nikah sebelum menyelesaikan study.
Padahal aku adalah seorang wanita yang layak nikah segera
jika usia telah memungkinkan tanpa harus menunggu
rampung study. Namun aku telah memusnahkan impian
orang tua itu, aku memilih jalan lain.
Saya lahir dari keluarga baik-baik dan penganut Islam
yang taat. Sejak kecil aku dididik dengan pendidikan agama
yang ketat. Sebagai seorang muslimah, saya sangat takut jika
terjerumus pada lembah dosa. Maka ketika hubungan kami

dalam titik rawan, maka kami membuat keputusan berdua
tanpa campur tangan orang tua. Tapi pengalaman ini memang
sangat pahit.
Saat aku kuliah tingkat tiga, saat itu usiaku kurang
lebih 21 tahun aku menikah dengan seorang kakak tingkat
yang usianya lebih tua dua tahun dari saya. Sebelumnya kami
telah berpacaran kurang lebih dua tahun. Pernikahan kami
tidak diketahui oleh orang tua karena kami ingin pernikahan
ini hanya kami berdua yang menjalani. Sebab orang tua tidak
mengizinkan kami menikah sebelum study beres.
Pernikahan kami hanya disaksikan oleh empat orang
rekan kami, kami melakukan ijab-kabul di bawah tangan atau
tanpa sepengatahuan pihak Catatam Sipil. Pernikahan model
ini sering disebut nikah sirri atau nikah bawah tangan.
Pernikahan ini terpaksa kami lakukan karena kami takut
terjerumus pada perzinahan mengingat hubungan spesial
kami telah berlangsung dua tahun. Selama ini juga kami telah
melakukan banyak dosa sekalipun tidak sampai hubungan
intim. Pernikahan ini sebagai langkah darurat untuk
menyelamatkan kami berdua. Jika study sudah usai, kami
akan melangsungkan pesta pernikahan seolah kami belum
pernah menikah.
Kami sepakat untuk tidak memiliki anak terlebih dahulu.
Semula berjalan lancar-lancar saja, namun ternyata saya

terlambat haidl. Saya lupa melihat tanggal, seharusnya saya
sudah disuntik KB lagi pada bulan itu, namun lupa karena
saking sibuknya study. Setelah ditest ternyata positif hamil.
Dalam keadaan bingung ini muncul ingin menggugurkan
kandungan, namun tidak mungkin. Akhirnya kami jalani saja,
yang terpenting saat pulang ke rumah orang tua, saya bisa
menyembunyikannya.
Kandungan semakin besar, jika nanti melahirkan pasti
membutuhkan biaya besar. Sedangkan saat melahirkan nanti
saya lagi sibuk-sibuknya KKN dan suami lagi sibuk
menyusun skripsi. Untuk biaya KKN dan skripsi saja
tabungan kami semakin menipis. Maka saya yang mengalah,
semester itu saya cuti dulu. Akhirnya selamat juga, jabang
bayi itu lahir.
Entah kabar dari siapa atau mungkin hanya firasat, saat
saya melahirkan orang tua ternyata datang ke tempat kost
karena selama empat bulan tidak pulang. Tak terkira
kagetnya ibu melihat saya melahirkan. Sumpah serapah ayah
tumpah semua pada kami. Suami kami berusaha menjelaskan
namun semuanya tidak berarti.
Akhirnya mereka pulang lagi dengan membawa segudang
kekecewaan. Tinggallah kami berdua yang bingung. Jika
pulang kami takut karena ibu menganggapku kumpul kebo.

Lagipula mereka tidak berharap aku pulang karena akan
merusak kehormatan keluarga. Setelah itu, tidak ada
keluargaku yang menengok padahal setelah melahirkan aku
jatuh sakit.
Permasalahanku bertambah, katika aku sakit suamiku tak
mampu melanjutkan penyusunan skripsi karena konsentrasi
terganggu. Puncaknya ketika sakitku kambuh lagi dan harus
dirawat di rumah sakit, ASI kering dan terpaksa anakku harus
minum susu botol. Biaya jelas bertambah, padahal utang
untuk bayar rumah sakit saja belum dibayar. Pasca aku
sembuh, anakku giliran sakit, mungkin akibat tidak cocok
susu atau sanitasi kamar kostku kurang memadai. Tak lama
kemudian anakku meninggal. Aku sangat terpukul. Baru kali
ini aku ditimpa beban yang begitu berat.
Aku mulai terguncang. Semangat belajarku musnah
apalagi dana dari orang tua sudah lama terhenti. Akibatnya
aku tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah, padahal
tinggal dua semester lagi. Dengan sangat menyesal kembali
aku cuti satu semester. Sementara itu skripsi suamiku pun tak
kunjung selesai karena biaya tidak memadai.
Tubuhku makin kurus termakan oleh masalah yang
bertubi-tubi. Akibatnya aku kembali jatuh sakit. Dengan
penuh rasa bersalah saya menelphon keluarga di rumah

karena saya dirawat lagi di rumah sakit, kali ini cukup gawat.
Akhirnya datang kakak saya. Saat itu juga saya dibawa ke
Sukabumi. Sementara suamiku tidak diperbolehkan ikut
karena dianggap kurang ajar.
Dalam keadaan sakit aku masih juga menerima berbagai
sumpah serapah dari orang tua. Padahal sebelumnya aku
menceritakan tentang musibah yang menimpa yaitu
meninggalnya anak kami. Namun nampaknya semua tak
peduli karena aku dianggap anak durhaka. Yang membuatku
makin parah, suamiku tidak ada di sampingku. Setelah dua
bulan tak berdaya akhirnya berangsur-angsur aku sembuh.
Rencananya aku akan masuk kampus lagi, namun orang
tua telah memutuskan agar aku tidak kembali ke kampus.
Aku ceritakan tentang pernikahan kami, namun orang tua
tidak mengakuinya sebagai pernikahan yang sah dan aku
disuruh merahasiakan pernikahan itu atau anggap tidak
pernah terjadi.
Aku berusaha menelpho suamiku ke kampus, namun
pihak kampus menyatakan bahwa dia telah menyatakan
pindah ke kampung halamannya di Palembang. Yang
membuatku kaget, aku menemukan surat cerai di atas segel
yang ditandatangani oleh suami saya dan saya diwakili oleh
kakak saya. Ternyata saat saya sakit, suami saya ditekan

untuk tidak lagi mengganggu saya. Dan dia dipaksa untuk
menandatangani surat cerai. Pupus sudah pernikahan itu. Aku
kasihan pada suami yang tentu saja menanggung beban
sangat berat. Hingga saat ini aku tak tahu kabarnya.
Dua tahun kemudian, akhirnya aku menikah lagi, namun
tidak lama aku bercerai karena dianggap tidak perawan lagi
padahal dalam surat nikah disebutkan aku gadis. Kini aku
sendiri, mungkin takkan pernah menikah lagi.


ULASAN
Nikah Sirri dan Birrul Walidain

Memang benar, pernikahan anak adalah suatu
kebanggaan dan kebahagiaan tersediri bagi orang tua. Saat
resepsi itulah segenap kasih-sayang orang tua tertumpahkan.
Namun jika sebaliknya, maka betapa sakitnya hati orang tua
melihat anaknya melakukan kenekadan yang sungguh di luar
batas. Terlepas pertimbangan si anak, namun bagi orang tua
ini suatu pelecehan terhadap keberadaan dirinya sebagai
orang tua.
“Dan kami amanatkan kepada manusia terhadap kedua
orang tuanya, ibunya yang telah mengandung dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang
tuamu. Kepada-Kulah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14).
“Kami perintahkan pada manusia supaya berbuat baik
terhadap kedua orangtuanya. Ibu yang mengandungnya dengan
susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula.
Mengandung sampai menyapihnya adalah 30 bulan, sehingga
apabila ia telah dewasa dan umurnya telah sampai 40 tahun, ia
berdo’a: “Ya , Tuhanku tunjukilah aku untuk mensyukuri

nikmat-Mu, yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal shaleh yang
Engkau ridhai. Dan berilah kabahagiaan kepadaku dengan
memberi kebaikan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang
yang berserah diri.” (QS. Al-Ahqaf: 15).
Dalil-dalil ini mengisyaratkan kewajiban berbuat baik
terhadap orang tua. Terlebih lagi dalam hal nikah, maka orang
tua yang paling berhak mengadakan pesta walimah nikah itu.
Dalam kisah ini seolah nasi sudah menjadi bubur, orang tua
sudah kehilangan momentum untuk merayakan pernikahan
anaknya. Dipandang dari sudut ini pelaku nikah sirri pada kisah
di atas sudah melakukan dosa.
Lantas dengan alasan untuk menghindari perzinaan
hakekatnya bisa diselesaikan dengan banyak hal di antaranya
kompromi terlebih dahulu dengan orang tua. Jika ternyata tidak
diizinkan, maka bisa menempuh jalan yang diridlainya yaitu
dengan menjaga kesucian diri sampai waktunya nikah nanti.
Menjaga kesucian ini banyak ragamnya di antaranya
menghindari khalwat dan ikhtilat.
“Dan orang-orang yang belum mampu nikah, hendaklah
menjaga kesucian dirinya sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunianya…” (QS. An-Nur : 23).

Orang tua sendiri dalam hal ini mesti bersikap arif, antara
study dengan nikah bukan dua hal yang bertentangan. Justru
jika anak sudah kelihatan dekat dengan lawan jenisnya,
maka orang tua sendiri, harus ikut mendorong mereka
menuju pernikahan. Study jangan dijadikan kendala karena
jika terjerumus ke lembah perzinaan atau lantas anak
mengambil jalan pintas dengan nikah sirri, maka
kerugiannya akan lebih besar. Jika masalah materi dalam
rumah tangga, bisa dibantu terlebih dahulu oleh orang tua
sambil anaknya sendiri berpikir untuk memiliki penghasilan
sendiri.
Ini memang tidak mudah, namun jika prioritas mencapai
madlatillah yaitu menyelamatkan anak dari khalwat, ikhtilat
dan perzinaan, maka semuanya menjadi mudah.
Wallaua’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar